1. Masa Hindia Belanda
Mochtar Buchori dalam bukunya Evolusi Pendidikan di Indonesia dari Kweekschool sampai ke IKIP: 1852-1998 (2009) menyebutkan, terdapat empat jenis pendidikan bagi calon guru sekolah dasar pada zaman Hindia Belanda yang dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Sekolah guru untuk mereka yang akan
mengajar di sekolah rendah pribumi dengan pengantar bahasa Belanda. Kelompok pertama ini , terdapat Kweekschool
dan Hogere Kweekschool (HKS) yangkemudian diubah menjadi Hollandsch Inlandche
Kweekschool (HIK)
2. Sekolah guru untuk mereka yang akan
menjadi guru pada sekolah rendah pribumidengan bahasa pengantar salah satu dari
bahasa daerah seperti Jawa, Sunda, Melayu atau Bugis. Dari kelompok kedua ini
terdapat Cursus voor Volkschool Onderwijzers (CVO) yang dirubah menjadi
OVVOserta Normaalschool.
Murid yang diterima di Kweekschool adalah orang yang telah tamat dari
sekolah pemerintah untuk anak-anak pribumi, berumur paling tidak 12 tahun, dan
berasal dari keluarga baik-baik. Namun dikemudian hari mereka yang dapat
diterima di Kweekschool ini hanya mereka yang telah tamat kelas VII HIS. Lama studi
di Kweekschool ini ditempuh selama empat tahun.
Lulusan Kweekschool digaji sama dengan gaji asisten wedana sebesar 50
gulden hingga 150 gulden perbulan, mendapat gelar resmi “mantri guru” menduduki
kedudukan yang nyata di kalangan pegawai pemerintah lainnya. Selain itu berhak
menggunakan payung, tombak, tikar dan kotak sirih (lambang kehormatan).
Di sisi lain terdapat sekolah calon guru sekolah dasar yang nantinya akan
mengajar di sekolah rakyat (Volkschool) yakni CVO kemudian menjadi OVVO,
programnya berupa kursus selama dua tahun yakni mereka yang sudah tamat kelas V
dari sekolah Pribumi kelas II.
Metode pembelajaran yang digunakan ialah melihat dan meniru yakni
menyaksikan bagaimana para guru senior mengajar dan kemudian mereka
menirukannya. Setelah tamat mereka ditempatkan sebagai guru Volkschool yaitu SD
3 tahun dengan kurikulum sangat sederhana yakni membaca, menulis dan
menghitung.
Untuk menjadi guru Menengah (Middelbaar Onderwijs, setingkat SMP dan SMA)
pada zaman Belanda dibutuhkan akta mengajar yang disebut MO A untuk setingkat SMP dan MO B untuk setingkat
SMA. Untuk mendapatkan MO umumnya hanya tersedia di Belanda, tetapi Akta MO
Ilmu Pasti dititipkan Pada Technische Hoogeschool di Bandung (ITB)
2. Masa Kependuduakan Jepang
Maret 1942 bergantinya kekuasaan Belanda ke Jepang memengaruhi pula
kebijakan pendidikan secara umum, pemerintah menggabungkan berbagai sekolah
guru menjadi satu sekolah yang didirikan oleh pemerintaj, hanya Perguruan
Muhammadiyah dan Taman Siswa yang diperbolehkan. Semua dikontrol dengan ketat.
3. Masa Kemerdekaan dan Orde Lama
Pada awal kemerdekaan 1945 Pemerintah menghadapi persoalan kekurangan guru
yang disebab tiga hal:
1. UU No 4 Tahun 1950 menyebutkan
pendidikan merupakan hak rakyat dan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan
nasional.
2. PP No 65 tahun 1951, provinsi juga
memiliki wewenang untuk membangun dan menyelenggarakn Sekolah Dasar.
3. Pemerintah juga mencanangkan program
wajib belajar tahun 1961
Untuk mengatasi kekurangan guru tersebut pemerintah mendirikan lembaga
pendidikan guru sementara secara massal disebut Kursus Pengajar untuk Kursus
Pengantar kepada Kewajiban Belajar (KPKPKB) September 1950 melalui Keputusan
Menteri.
Untuk meningkatakan mutu pendidikan
KPKPKB ditingkatkan menjadi Sekolah Guru B (SGB) 4 tahun kemudian menjadi SGA 6
tahun. Di pendidikan sekolah menengah
pemerintah mendirikan Program Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLP)
kusrus B-1 3 tahun, B-II 2 tahun diarahkan menjadi guru Sekolah Lanjutan Atas
(SLA).
Tingkat Perguruan Tinggi mulai berlangsung 1954 yaitu Pendidikan Tinggi
Pendidikan Guru (PTPG) di Bandung, Malang, Batu Sangkar dan Tondano untuk
mendidik calon Guru SLTA.
Tahun 1961 berdasarkan kesepakatan
antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (PD dan K) dan Departemen
Perguruan Tinggi, PTPG dimasukan ke universitas sebagai Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP).
Menilai FKIP belum memenuhi harapan
Menteri PD dan K Prijono kemudina mendirikan Institut Pendidikan Guru (IPG) di
bawah Departemen PD dan K. Munculah dualisme penyelenggara lembaga pendidikan
untuk guru antara Departemen PD dan K dan PTIP.
melalui Keppres 3/1963 3 Januari 1963 Bung Karno akibat desakan dari Mahasiswa
FKIP seluruh Indonesia FKIP dan IPG dilebur menjadi Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) di bawah Departemen PTIP merupakan satu-satunya lembaga
pendidikan guru untuk sekolah menengah.
4. Masa Orde Baru dan Reformasi
Presiden Soeharto menginstruksikan untuk mendirikan sejumlah 6.000 SD
(Inpres), masalah kekurangan guru kembali muncul, pemerintah kemudian
mengembangkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) untuk mengatasi kekuranganguru,
walau sudah dicanangkan sejak tahun 1960 terdapat 82 SPG, tahun 1967 menjadi
123 SPG. Kurikulum yang digunkan adalah Kurikulum SPG tahun 1968 melalui
Keputusan Menteri P dan K 21 Juli 1976 dirubah menjadi Kurikulum SPG 1967.
Tahun 1980 SPG Negeri mulai dikurangi kerena jumlah guru yang dibutuhkan
mulai terpenuhi, dan dialih fungsikan menjadi SMA lainnya dimulai sejak tahun
1989 dan berakhir 1990. IKIP maupun FKIP
yang semula dimaksudkan mendidik guru SLTA kemudian mendidik guru SLTP,
kemudian Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) juga berfungsi
mendidikan guru TK dan SD melalui Program PGTK dan PGSD. Pada tahun 1999 dan
2000 10 IKIP berubah nama menjadi universitas dan tetap mengemban tugas sebagai
LPTK.
B.
Menjamurnya Perguruan Tinggi
Mereka yang masuk ke SPG, SGO, dan PGA adalah
orang-orang yang telah sejak awal bercita-cita menjadi guru, siap mengabdikan
diri untuk dunia pendidikan, serta tahu konsekuensinya menjadi seorang guru,
termasuk rendahnya gaji yang diterima, dan harus mau hidup sederhana. Walau
demikian, mereka mau untuk mau masuk ke SPG, SGO, atau PGA, karena dilandasi
niat yang kuat dan rasa cinta terhadap pendidikan. Para siswa SPG, SGO, dan PGA
adalah siswa-siswa terpilih. Ada seleksinya, mulai dari seleksi administratif,
akademik, hingga seleksi fisik. Bahkan bentuk kaki dan tinggi badan turut
menjadi pertimbangan seorang pendaftar lolos menjadi siswa.
Penulis sendiri bukanlah lulusan dari salah satu
sekolah tersebut, saya seorang lulusan STM (sekarang menjadi SMK) melanjutkan
ke Universitas di FKIP, tetapi saya suka berdiskusi dengan guru lulusannya. Di
SPG, SGO, atau PGA, para siswa benar-benar diajari dan dididik menjadi calon
guru. Porsi ilmu pedagodik (mendidik anak usia sekolah) begitu besar, sekitar
70%, didaktik dan metodik pun benar-benar diasah. Cara berpakaian, cara
berpenampilan, cara berbicara di depan murid, cara memegang kapur, cara menulis
di papan tulis, sampai cara menghapus tulisan di papan tulis pun diajarkan.
Praktek mengajar dijalani selama enam sampai dengan
sembilan bulan. Dengan demikian, jiwa dan kemampuan mereka sebagai calon guru
terasah. Mereka pun ikut kegiatan ekstrakurikuler yang diminati seperti olah
raga, seni, kepramukaan. Oleh karena itu, tidak heran ketika mereka menjadi
guru, mereka aktif membimbing kegiatan ekstrakurikuler dan terampil dalam
membimbing siswa membuat benda-benda kerajinan.
Entah apa alasannya, SPG, SGO, dan PGA dihapus? Walau
menurut pemerintah sekolah tersebut merupakan solusi untuk memenuhi kurangnya
guru pada program Inpres di tahun 1968. oleh pemerintah. Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan (IKIP) pun diubah menjadi universitas. Akibatnya ruh pendidikan
keguruan menjadi hilang. Tidak ada seleksi khusus untuk mahasiswa calon guru.
Yang ada hanya seleksi akademik melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN). Apalagi di Perguruan Tinggi swasta (PTS), hampir bisa
dikatakan tidak ada seleksi, karena toh mereka yang butuh mahasiswa.
Guru-guru yang bukan lulusan SPG, SGO, atau PGA
mungkin akan protes, karena walau bukan lulusan dari salah satu sekolah
tersebut, mereka juga dapat menjadi guru yang profesional. Bisa saja demikian,
tetapi mereka tidak mendapatkan pengalaman sebagai siswa sekolah yang menjadi
cikal bakal calon guru. Tentunya dari sisi penghayatan terhadap tugas tidak
akan sama dengan yang pernah mengenyam pendidikan di SPG, SGO, atau PGA.
Saya ingat waktu saya SD diajar oleh guru lulusan SPG.
Tulisannya begitu rapi, kalau mau menulis di papan tulis, maka papan tulisnya
pun digarisi terlebih dahulu supaya tulisannya rapi dan lurus. Terus tegak
bersambungnya rapi sekali, dan enak dibaca. Bagaimana dengan tulisan guru saat
ini?
Saya juga punya guru ngaji di madrasah, yang juga
seorang guru disekolah, lulusan PGA, ilmu agamanya luas, bisa membaca kitab
kuning, karena selain sekolah di PGA juga mengaji di pesantren. Beliau juga
menjadi pemuka agama di masyarakat yang disegani, dan memiliki wibawa yang
tinggi. Bagaimana dengan sarjana agama atau sarjana pendidikan Islam saat ini?
Sekarang calon-calon guru didik di Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK). Bahkan sarjana non-kependidikan pun bisa menjadi
guru karena diatur oleh UU Guru dan Dosen. Profesi guru kini makin diburu,
karena seiring dengan adanya sertifikasi, kesejahteraan guru pun kian
meningkat. Walau kesejahteraannya sudah meningkat, profesionalisme banyak
yang belum benar-benar meningkat. Studi Bank Dunia tahun 2010 menyimpulkan
bahwa sertifikasi guru belum berdampak terhadap peningkatan profesionalismenya.
Bagi penulis, guru adalah pekerjaan yang bukan hanya
membutuhkan profesionalisme, tapi juga membutuhkan panggilan nurani, panggilan
jiwa, dan kecintaan terhadap profesi. Ketika ada siswa yang nakal, sulit
diatur, sulit menerima pelajaran, disamping faktor dari siswanya sendiri,
pengaruh keluarga, dan lingkungan, jangan-jangan gurunya dalam melaksanakan
tugas tidak disertai dengan cinta dan kasih sayang, asal melakukan tugas, dan
kurang penghatan terhadap tugasnya.
Dengan menjamurnya perguruan tinggi untuk calon guru
semakin memudahkan siapa saja mendaftar, kualitas tidak lagi menjadi prioritas,
sekarang dan ke depannya penulis berharap Pendidikan untuk calon guru harus
selektif dan kompetitif dalam hal ini (termasuk penerimaan diperguruan
tingginya dan pendirian perguruan tingginya). Penulis mungkin terkesan utofis,
berharap ada solusi dan inovasi sebagai wujud kepedulian kita akan dunia
pendidikan di Indonesia contoh: Pendidikan untuk Calon Guru ada dalam jurusan
masuk pada rumpun tersendiri yaitu Profesi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
tentunya belum berhak memiliki lisensi mengajar tetapi penulis berharap dengan
dibentuknya jiwa dan kepribadian guru sejak dini tentunya akan semakin
memperkokoh dirinta dalam menjalankan tugas guru ke depannya untuk mencetak
guru yang memiliki kompetensi dasar Pedagogik, Kepribadian, Sosial, dan
Propesional.
Sangat menginspirasi, kayanya bisa dipertimbangkan idenya
BalasHapusGuru hebat
BalasHapusSejauh ini saya berpendapat sih No
BalasHapusPerlu kajian mendalam
BalasHapusSangat menarik
BalasHapus